Saya inginnya tahu beres. Tidak perlu pusing memikirkan cara membentuk pasar dan yang pasti toko itu sudah terbukti untung,” ujar Yuliane Setyoaji, investor minimarket Indomaret dengan sistem takeover di Taman Kencana, Cengkareng. Apa yang dikatakan Yuliane tidak sekadar isapan jempol. Pasalnya begitu toko itu diambil alih Yuliane (Juni 2003), ia mengaku dalam sebulan bisa meraup omset lebih dari Rp 8,5 juta/hari, sebagaimana yang ditargetkan franchsior.
Pancaran rasa puas itu juga dialami Ny. Sjamsir. Wanita berusia 55 tahun ini menjadi investor takeover minimarket Alfamart per September 2003. “Saya pilih sistem takeover karena saya tidak mau berspekulasi. Soalnya, kalau pilih pola waralaba kan harus memulai dari nol dan masih menunggu dulu untung apa nggak,” ungkapnya. Dikatakannya, minimarket yang berlokasi di Cililitan itu awalnya hanya beromset sekitar Rp 8 juta/hari, kini melonjak ke angka Rp 13-14 juta.
Kesempatan meraih untung tersebut tidak hanya dominasi dua orang investor tadi. Pasalnya, pihak prinsipal atau franchisor memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi pemodal lain yang berminat menanamkan modalnya di minimarket. Namun, nilai investasi yang dipersyaratkan pola takeover jauh lebih gede dibanding sistem franchise. Investor yang mengambil pola akuisisi itu tinggal memanen hasilnya. Konsekuensinya, investor mesti menanggung biaya goodwill (pemeliharaan toko) yang telah dirintis oleh prisipal. Jadi, kalau ditotal biaya investasi takeover bisa nyaris dua kali lipat dari investasi waralaba.
Laurensius Tirta Widjaja, Direktur Operasional PT Indomarco Prismatama (IP) — franchisor Indomaret — menjelaskan, untuk menjadi investor takeover Indomaret dibebankan dua macam biaya investasi. Pertama, biaya goodwill Rp 200-300 juta (tergantung tipe toko). Kedua, biaya waralaba itu sendiri Rp 300-320 juta. Artinya, kalau investor hanya membeli dengan cara waralaba murni, cukup bayar investasi Rp 300-320 juta. “Di sini yang membedakan pola akuisisi dan franchise adalah ada tambahan biaya goodwill untuk sistem takeover,” papar eksekutif yang berpenampilan sederhana itu. Ia pun mengakui nilai investasi waralaba Indomaret lebih mahal dibanding kompetitor. Kendati begitu, ia berani menyakinkan bahwa jumlah uang yang telah ditanamkan investor bakal berbuah manis.
Investasi waralaba Indomaret senilai Rp 300 juta (tipe 45 rak), digunakan untuk membayar fee waralaba Rp 75 juta (masa kontrak lima tahun), ongkos start up dan promosi Rp 13,5 juta, biaya perizinan dan renovasi Rp 70 juta, perlengkapan Rp 113 juta, penyejuk udara Rp 21 juta. Sementara untuk gerai 55 rak menelan dana Rp 320 juta. Jumlah itu untuk membayar fee waralaba Rp 75 juta (masa kontrak lima tahun), dana start up dan promosi Rp 13,5 juta, biaya perizinan dan renovasi Rp 76 juta, perlengkapan Rp 125 juta dan AC Rp 28 juta. Biaya-biaya tersebut tentu saja di luar biaya properti, baik yang dihitung dari sewa maupun tempat milik investor sendiri.
Bagaimana dengan investasi takeover Alfamart? ?Konsep takeover Alfamart dirancang untuk investor yang memiliki dana Rp 400-600 juta. Sebab, dengan konsep ini ditawarkan toko-toko Alfamart yang sudah berjalan dan terbukti cash flow-nya bagus dengan sale harian Rp 10 juta,” papar Solihin, General Manager Waralaba PT Sumber Alfaria Trijaya (franchisor minimarket Alfamart). Besar-kecilnya dana untuk mengambil alih toko dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain: luas toko, periodisasi toko berjalan, biaya sewa toko, performa toko, serta besarnya investasi yang telah ditanamkan Alfamart. Sementara itu, nilai investasi sistem waralaba Alfamart ditetapkan Rp 200-300 juta dengan syarat investor telah memiliki tempat yang layak usaha dan lolos disurvei. Nilai investasi sebesar itu sudah termasuk fee waralaba Rp 45 juta untuk masa kerja sama lima tahun.
Ada biaya-biaya lain di luar nilai investasi awal. Memang setelah toko beroperasi, baik sistem takeover maupun waralaba tetap dikenakan beberapa biaya tambahan. Sebagai gambaran, Alfamart memberlakukan fee royalti 2%-3% omset, fee distribusi 2% nilai barang, dan fee administrasi Rp 600 ribu/bulan.
Sementara itu, perhitungan skema fee royalti Indomaret agak unik, karena bersifat progresif. Untuk omset di bawah Rp 75 juta/bulan, dibebaskan dari fee royalti. Kemudian, untuk omset bulanan Rp 75-100 juta ditetapkan fee royalti 2%. Sebagai contoh, toko X yang rata-rata membukukan omset bulanan Rp 80 juta, maka biayanya dihitung sebagai berikut: Rp 80-75 juta x 2% atau Rp 5 juta juta x 2% = Rp 100 ribu. Berikutnya, untuk omset Rp 100-150 juta/bulan dikenakan fee royalti 3%, dan 4% untuk omset di atas Rp 150 juta/bulan.
Solihin dan Laurensius sepakat bahwa untuk balik modal sistem takeover dan waralaba bersifat relatif. Akan tetapi, mereka mengakui untuk takeover bisa diproyeksi kepastiannya kapan mengalami titik impas, karena telah teruji dengan penjualan yang bagus. Umpamanya, kalau di Indomaret mempersyaratkan minimal Rp 8,5 juta/hari dan Alfamart Rp 6-7 juta/hari. Kalau target penjualan harian terpenuhi, baik di minimarket Indomaret maupun Alfamart, diperkirakan 3,5-4 tahun bisa balik modal.
Selanjutnya, jika masa kontrak berakhir lima tahun, investor yang ingin memperpanjang kerja sama diperbolehkan, asalkan kinerjanya baik dan tetap sanggup memenuhi ketentuan dari prinsipal. Di Indomaret, franchisor memberikan tawaran menarik untuk kontrak termin kedua. “Kami berikan diskon 25% dari franchise fee yang berlaku saat itu (lima tahun ke depan),” tambah Laurensius. Akan tetapi, pengelola Alfamart tidak memberikan iming-iming seperti itu. Dengan kata lain, biaya yang dipungut sama saja dengan investor pemula.
Agar kinerja toko-toko milik franchisor yang diakuisisi investor tidak mengecewakan, biasanya franchisor sudah membina toko yang bersangkutan dengan baik. “Yang jelas, track record sudah bagus dan teruji,” kata Laurensius. Ketangguhan toko-toko hasil takeover itu dibenarkan oleh sebagian investor. Simak pengalaman Ny. Sjamsir misalnya. “Saat toko Alfamart milik kami pertama kali beroperasi itu sebetulnya sudah ada duluan toko milik kompetitor merek lain. Toh, minimarket kami tetap berkembang,” paparnya seraya menambahkan bahwa lokasi tokonya strategis, dekat terminal dan kompleks perumahan TNI. Demikian halnya pengakuan Yuliane. Mula-mula ia sempat khawatir dengan masuknya minimarket merek lain yang akan menyaingi tokonya. Ternyata ketakutan itu tidak terbukti. “Toko kami tetap ramai. Jadi janji franchsior itu tidak bohong,” kata Yuliane.
Benarkah investasi minimarket pola takeover tidak ada risikonya? Menurut Laurensius, sebenarnya investasi waralaba itu pada prinsipnya minim risiko. “Apalagi dengan sistem takeover, maka lebih safety,” ujarnya. Ia mengungkapkan, hingga saat ini gerai Indomaret yang gagal hanya di bawah 3%. Itu pun dipicu oleh faktor adanya perubahan pasar di lingkungan toko berada. Contohnya, sebuah outlet di kawasan Tanjung Duren, Jakarta Barat awalnya memiliki kinerja kinclong. Namun, tiba-tiba jalan di depan gerai dijadikan satu arah yang ujung-ujungnya penjualannya menurun tajam. Akibatnya, toko nahas itu harus ditutup.
Lebih jauh Laurensius menyimpulkan sejumlah plus-minus sistem takeover dibanding waralaba. Minusnya, pola akuisisi menuntut nilai investasi lebih gede. Kelemahan lainnya, pertumbuhan pola takeover tidak besar karena pasar sudah matang. Sementara itu, lewat waralaba peluang pertumbuhan lebih besar karena potensi pasar yang digarap benar-benar ladang baru.
Plusnya? Menurut Laurensius, dengan cara takeover investor tinggal tunjuk mau pilih toko mana yang dikehendaki. Apakah ingin yang dekat rumah, kantor atau perumahan? Toko-toko Indomaret itu bisa dipilih yang tersebar di Jabotabek, Bandung, Semarang dan Surabaya. Berdasarkan data per September 2004 total gerai Indomaret ada 926 toko, terdiri atas 476 toko milik sendiri (41%) dan 450 (49%) dengan pola waralaba.
Adapun total gerai Alfamart sebanyak 800 toko, 25% sudah dimiliki oleh investor baik dengan pola waralaba, takeover maupun Program Operator Mandiri. POM adalah konsep pengembangan bisnis di mana calon mitra (individu, institusi) hanya punya tempat, tapi tidak memiliki dana. Akan tetapi, setelah disurvei ternyata tempat itu layak sehingga cocok sebagai mitra Alfamart.
Keunggulan lain dari sistem takeover adalah ketersediaan SDM yang siap pakai. Sebab, dengan mengakuisisi toko, otomatis berikut karyawan yang telah berpengalaman. Di sebuah gerai Indomaret misalnya, terdapat 8-10 karyawan dengan sistem kerja dua shift. Lagi pula untuk mencapai target penjualan di takeover, tidak perlu kerja keras untuk memperkenalkan brand minimarket itu kepada masyarakat sekitar. Begitu halnya jika masa kontrak sewa tempat sudah berakhir, pihak franchisor yang akan bernegosiasi dengan pemilik tempat. Jadi, investor takeover tidak perlu pusing mengurusi soal tetek bengek operasional.
Investor bisa memilih mana saja. Mau yang takeover atau franchise murni? Yang pasti, jika memilih memiliki gerai Indomaret atau Alfamart dengan cara ambil alih, mereka harus siap dana lebih gede. Soal pengelolaan, tak ada bedanya dan kedua pola itu tetap menuntut komitmen investor. “Calon investor harus mempunyai kemauan dan keinginan kuat untuk menjadi pengusaha tangguh di bisnis minimarket,” Solihin menegaskan.
http://swa.co.id/2004/11/ingin-investasi-yang-pastitanya-takeover-saja/
No comments:
Post a Comment